Saturday, February 21, 2009

Lalat...Si Pembawa Penyakit

. Saturday, February 21, 2009

Keberadaan lalat rumah yang disebut Musca domestica ini merupakan indikator kondisi sanitasi lingkungan. Demikian juga dengan dengan yang terjadi di lingkungan peternakan. Lalat yang beterbangan dapat dikatakan sebagai fenomena gunung es. Yang dimaksudkan adalah lalat dewasa yang kita lihat hanya 20% dari total populasi. Sementara yang 80% nya berada dalam stadia telur, larva dan pupa yang tersembunyi.

Sekali bertelur, seekor lalat rumah betina menghasilkan 100-150 butir atau 1000 butir seumur hidupnya. Dalam waktu 12-24 jam telur menetas dan berkembang menjadi larva dalam waktu 3-7 hari. Larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 26 hari atau bahkan kurang dari itu, tergantung suhu lingkungan. Selanjutnya pupa menjadi lalat dewasa. Oleh karena kecepatan perkembangbiakannya, ada yang menyebut lalat sebagai an everyday monster.
Lalat termasuk dalam kelompok insekta, ordo Diptera, sub ordo Brachicera. Yang termasuk kelompok ini antara lain lalat kuda ( Tabanus) dan lalat rumah (Musca domestica).
Lalat rumah dianggap mengganggu karena kesukaannya hinggap di tempat-tempat yang lembab dan kotor. Selain hinggap, lalat juga menghisap bahan-bahan kotor dan memuntahkan kembali dari mulutnya ketika hinggap di tempat berbeda. Bisa dibayangkan pakan yang dihinggapi lalat akan tercemar oleh mikroorganisme baik bakteri, protozoa, telur/larva cacing atau bahkan virus yang dibawa dan dikeluarkan dari mulut lalat-lalat tersebut. Oleh karena itu lalat dianggap sebagai penyebar berbagai penyakit kepada manusia maupun hewan, antara lain demam typhoid, kolera, anthrax, tuberculosis, disentri, cacing gilig Ascaris dan cacing pita Raillietina. Bahkan menurut penelitian Prof. Dr. Hastari Wuryastuti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, lalat rumah diduga sebagai vektor atau penyebar virus Avian influenza. Penelitian tersebut belum selesai, masih memerlukan pembuktian lainnya. Namun pernah ditemukan bahwa lalat yang berasal dari farm yang terserang AI beberapa tahun yang lalu ternyata positif terdapat virus AI dalam tubuhnya.
Menyimak demikian banyak kerugian "memelihara" lalat rumah dalam kandang atau di dalam rumah maka lalat harus dihapuskan dari kedua lingkungan tersebut. Lalat betina menyukai tempat yang basah dan lembab dan mengandung protein seperti kotoran ayam sebagai tempat hinggap dan bertelur. Oleh karena itu sebaiknya kotoran ayam di kandang dalam keadaan kering yang dapat diperoleh jika penyerapan nutrisi dalam saluran pencernaan berlangsung optimal. Kondisi pencernaan demikian terjadi bila terdapat keseimbangan mikroflora usus dan bakteri di dalam saluran pencernaan.
Selain dengan menciptakan kotoran yang kering, pemakaian produk anti lalat juga banyak mengurangi populasi lalat. Ada produk yang ditaburkan di atas kotoran ada pula yang diberikan melalui pakan agar bahan tersebut ada di dalam kotoran dan membunuh larva yang akan berkembang menjadi pupa.
Selain lalat rumah, jenis lalat lain pun juga merugikan peternakan. Lalat Tabanus yang gigitannya menyakitkan dan mengiritsi kulit dapat berlaku sebagai penyebar penyakit surra. Lalat Gasterophilus bahkan "menitipkan" larvanya dalam lambung kuda sebelum dikeluarkan bersama dengan kotoran sehingga menimbulkan luka dilambung.
Bagaimanapun menjaga kebersihan termasuk merupakan langkaj yang cukup baik dalam rangka memutuskan siklus penyakit melalui lalat sebagai sang pembawa penyakit. Jangan sampai ada pakan yang tumpah dibawah kandang karena pakan mengandung protein yang disukai lalat untuk hinggap dan bertelur. Mari kita memerangi lalat!!!
Warta SANBE-VET no.36 Agustus 2008

Klik disini untuk melanjutkan »»

Friday, February 20, 2009

Pentingnya Aspirin dan Vitamin C

. Friday, February 20, 2009


Busyet dah..ayamnya hari kemarin mati 23ekor!!!Kalo dilihat dari fisiknya dan hasil bedah ayamnya normal. Gak mau kecolongan, ayamnya dicek...dan ketemu ada ayam yang sedang telanjang. Ayamnya ngomong :"Bos..hawanya panas banget, pake kipas kurang nyess..jadinya buka baju..ehh buka bulu aja". Gitu kata ayamnya. Kesimpulannya, 23ekor mati akhibat stress panas. Ingin tahu gimana menanggulangi heat stress pada broiler, simak artikel dari Drh. Heri Setiawan berikut ini.
Secara umum suhu lingkungan bisa berfluktuasi antara 29'C hingga 36'C, dengan kelembaban 70-80 %. Kondisi tersebut tentu sangat tidak nyaman bagi ayam broiler. Fungsi normal organ-organ tubuh broiler akan mengalami gangguan sehingga terjadi penyimpangan proses metabolisme yang berimbas pada merosotnya produktivitas dan meningkatnya mortalitas. Ujung-ujungnya tentu saja kerugian.
Cekaman Suhu Panas (Heat Stress)
Apa yang sebenarnya terjadi di dalam tubuh broiler ketika suhu lingkungan begitu tinggi dan menimbulkan cekaman stress?Respon awalnya adalah menurunnya nafsu makan. Ini adalah respon yang logis dan mudah dipahami. Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan "penguapan air" dari dalam tubuh meningkat yang berakhibat konsumsi air minum bertambah. Reaksi selanjutnya lebih njlimet (tingkat kompleksitasnya tinggi) karena melibatkan rangkaian proses hormonal. Kortisol, hormon utama dalam kelompok glukokortikoid, berpengaruh paling besar pada metabolisme tubuh saat terjadi cekaman panas.
Tingginya kadar kortisol dalam darah mengakhibatkan atropi (pengecilan) pada organ-organ primer sistem imunitas. Suatu penelitian yang dilakukan di Lohare, Pakistan, membuktikan bahwa heat stress menyebabkan penurunan ratio berat bursa fabrisius, Thymus dan Limpa tehadap berat badan broiler. Meskipun secara histologis/mikroskopis tidak ditemukan kerusakan pada ketiga organ tersebut, namun terjadi penurunan daya imunitas. Berkurangnya daya tahan tubuh ini disebabkan oleh menurunnya kualitas (kerusakan/kelemahan) dan kuantitas (menurunnya produksi dan kematian) sel-sel B, T dan Limposit yang bertanggungjawab pada mekanisme kekebalan tubuh melawan penyakit infeksi.
Hormon lain yang ikut berpartisipasi pada mekanisme tubuh ketika terjadi heat stress adalah prostaglandin. Hormon ini menyebabkan terbentuknya penggumpalan sel-sel darah sehingga terjadi peningkatan viskositas (kekentalan) cairan darah. Akhibat selanjutnya adalah penyumbatan pada pembuluh darah, terjadi hipoksia (pasokan oksigen ke dalam sel menipis), metabolisme terganggu dan akhirnya terjadi hambatan pertumbuhan. Pada kasus-kasus yang berat, apalagi disertai komplikasi oleh mikroba pathogen, bisa berakhir dengan kematian dalam jumlah yang tinggi.
Pentingnya ASA
Lebih populer dengan sebutan Aspirin, ASA (Acetylsalicylic acid) mempunyai efek prostaglandi inhibitor. Disebut demikian karena ASA bisa merangsang dilatasi/pelebaran pembuluh darah dan mencegah terjadinya penggumpalan sel-sel darah. Efek positif yang nyata adalah normalnya metabolisme sel-sel tubuh karena lancarnya pasokan oksigen dan tidak terjadinya hipoksia. Hal ini dibuktikan dengan suatu penelitian pada sejumlah broiler yang dipelihara dalam kondisi hipoksia buatan. Broiler tersebut dibagi menjadi 5 kelompok dengan pemberian pakan berbeda. Kelompok 1 diberikan pakan tanpa ASA (kontrol). Kelompok 2-5 diberi pakan mengandung ASA dengan konsentrasi 0,025%;0,05%;0,1% dan 0,2%. Hasilnya: broiler dengan pemberian pakan mengandung 0,2% ASA menunjukkan hasil terbaik dibanding kelompok lainnya dalam mengatasi hipoksia. Produktivitasnya pun paling optimal.
Pentingnya Vitamin C
Dikenal sebagai anti stress, vitamin C berperan dalam metabolisme glukoneogenesis, yaitu suatu proses penyediaan energi selama terjadinya cekaman suhu tinggi. Mekanismenya melalui pengkonversian protein dan lemak menjadi energi untuk produktivitas dan bertahan dalam menghadapi stress tersebut. Selain itu vitamin C juga mengambil bagian dalam sintesa sel darah putih, khususnya sel makrofag dan netrofil, yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh ayam. Suatu penelitian yang dilakukan di Kamboja menyimpulkan bahwa pemberian vitamin C pada broiler dengan dosis 40 mg/ekor/hari dalam air minum bisa mengurangi dampak negatif akhibat cekaman suhu tinggi. Produktivitas broiler tersebut meningkat yang ditandai dengan konversi pakan dan mortalitas yang menurun secara signifikan dibandingkan ayam kontrol (tanpa vitamin C) dan ayam yang diberi vitamin C dosis 20 mg/ekor/hari.
Pentingnya ASA dan Vitamin C
Gabungan ASA dan vitamin C ternyata menghasilkan efek sinergi yang berenergi. Saling memperkuat dan melengkapi dalam menghasilkan perlindungan pada ayam terhadap cekaman suhu tinggi. Penelitian di Lahore (Pakistan) yang dilakukan untuk mengetahui efek sinergiame bahwa pemberian gabungan ASA dan vitamin C pada broiler yang mengalami heat stress memberikan manfaat nyata, yaitu : membaiknya konversi pakan, status imunitas dan rasio berat bursa fabrisius, Tymus dan Limpa terhadap berat badan. Secara umum ASA dan vitamin C relatif aman. Dosis praktis yang dianjurkan pada kondisi lapangan dengan suhu lingkungan panas adalah 1 tablet ASA 500 mg dan 1 tablet vitamin C 500 mg dihaluskan kemudian dilarutkan dalam air minum untuk 50 ekor broiler umur 21 hari keatas. Hasil nyata terlihat bila diberikan pada tengah hari saat puncak terik matahari.
Nah..tunggu apa lagi, segera manfaatkan ASA dan vitamin C untuk menanggulangi dampak negatif suhu tinggi dan agar tidak ada ayam yang telanjang karena kepanasan.

Klik disini untuk melanjutkan »»

Apaan tuh Koksidiosis?

.

Kemarin sudah posting tentang Leucocytozoon, sekarang ganti Koksidiosis. Knapa koksidiosis?simpel aja alasannya, karena obatnya sama dengan Leucocytozoon,yaitu sulfamonodimetoksin atau sulfaquinoksalin.
Koksidiosis disebabkan oleh protozoa yang bernama Eimeria sp, penyakit ini bersifat diare dan enteritis (radang usus). Protozoa yang tergolong genus Eimeria memperbanyak diri di dalam saluran pencernaan dan menyebabkan kerusakan pada jaringan dan selanjutnya dapat mengakhibatkan gangguan pada proses digesti dan absorpsi nutrien, dehidrasi, kehilangan darah dan meningkatnya kepekaan terhadap penyakit lain. Koksidiosis terutama ditemukan pada unggas muda karena kekebalan akan cepat terbentuk setelah kontak dengan protozoa tersebut dan selanjutnya dapt memberikan perlindungan pada letupan penyakit berikunya. Meskipun demikian, ayam dewasa dapt terserang juga, hal ini mungkin karena tidak terdapat perlindungan silang antar spesies Eimeria pada unggas dan letupan berikutnya mungkin disebabkan oleh spesies Eimeria yang berbeda.
Kerusakan jaringan dan perubahan fungsi saluran pencernaan dapat mendukung adanya kolonisasi bakteri, misalnya Clostridium perfringens atau Salmonella typhimurium. Koksidiosis dapat mendukung timbulnya berbagai penyakit imunosupresif.
Secara alami, penyebaran Eimeria dapat dibatasi sendiri oleh protozoa tersebut dan terutama tergantung pada jumlah ookista yang ditelan dan status kekebalan ayam. Jumlah ookista di dalam litter atau feses ayam broiler paling tinggi pada minggu keempat sampai kelima, kemudian menurun pada periode berikutnya. Setelah ayam dipanen, biaanya hanya terdapat sejumlah kecil ookista yang dapat bertahan karena litter dan feses merupakan lingkungan yang tidak sesuai dengan perkembangan ookista.
Protozoa koksidiosis bersel satu, yang tergolong kelas Sporozoa, ordo Coccidia, famili Eimeriidae, dan genus Eimeria. Pada ayam telah dilaporkan 9 jenis Eimeria, yaitu Eimeria acervulina, Eimeria bruneti, Eimeria maxima, Eimeria mitis, Eimeria mivati, Eimeria necatrix, Eimeria praecox, Eimeria tenella, dan Eimeria hagani.Spesies Eimeria dapat diidentifikasi berdasarkan sifat-sifat yang spesifik, yaitu lokasi lesi pada usus, gambaran lesi makroskopik, ukuran, bentuk, dan warna ookista, ukuran skison dan merozoit, lokasi parasit di dalam jaringan, periode prepaten minimum pada infeksi buatan, waktu minimum untuk sporulasi, dan sifat imunogenisitas terhadat galur Eimeria yang murni.
Eimeria sp tidak menular secara langsung dari ayam satu ke ayam lainnya. Penularan alami koksidiosis hanya terjadi dengan cara menelan ookista hidup yang telah bersporulasi. Ayam yang terinfeksi dapat mengeluarkan ookista bersama feses selama beberapa hari atau beberapa minggu. Ookista yang terdapat di dalam feses akan menjadi infektif setelah proses sporulasi selama 2 hari. Penularan Eimeria antar kandang/peternakan dapat terjadi melalui pekerja atau peralatan yang berpindah-pindah. Ookista juga dapat berpindah melalui debu.
Gejala klinis koksidiosis bervariasi menurut spesies Eimeria yang infeksi ayam. Spesies Eimeria yang kurang patogen biasanya menyebabkan gejala klinis yang ringan atau tanpa gejala. Spesies Eimeria yang lebih patogenik dapat menyebabkan diare yang bersifat mukoid atau hemoragik. Gejala diare biasanya akan diikuti oleh dehidrasi, bulu berdiri, anemia, lesu, lemah, menekuk kepala dan leher, dan mengantuk. Lesi yang ditimbulkan oleh koksidiosis dapat dibagi berdasarkan lokasi lesi, yaitu sepertiga usus bagian depan disebabkan oleh Eimeria acervulina, sepertiga usus bagian tengah disebabkan Eimeria necatrix dan Eimeria maxima, sepertiga usus bagian belakang disebabkan Eimeria brunetti, dan sekum disebabkan Eimeria tenella. Meskipun demikian dapat terjadi tumpang tindih lokasi lesi pada usus yang ditimbulkan oleh berbagai jenis Eimeria.
Koksidiosis dapat ditanggulangi dengan sanitasi/desinfeksi yang ketat, menjaga kualitas litter yang optimal, dan penggunaan koksidiostat dalam pakan. Sampai sini info tentang koksidiosis, lain waktu akan saya sambung.

Klik disini untuk melanjutkan »»

Wednesday, February 18, 2009

Leucocytozoonosis

. Wednesday, February 18, 2009

Description and Distribution

Leucocytozoonosis is a disease caused by a protozoan blood parasite transmitted by the bite of a blackfly (Simuliidae). Both wild and domestic avian species are susceptible to infection with Leucocytozoon species: L. simondi (ducks and geese), L. smithi (turkeys), L. bonasae (grouse and ptarmigan) and L. marchouxi (pigeons and doves). An unspecified species has been found in an osprey in Michigan. L. simondi has been implicated in major die-offs of Canada geese at the Seney National Wildlife Refuge, which occur approximately every 4 to 5 years, and is believed to be one of the major factors limiting the growth of the Seney Canada goose population. Die-offs generally occur in the spring (mortality may reach 100% in the goslings) but deaths due to leucocytozoonosis can be seen anytime during the blackfly season (May-August). In North America the distribution of L. simondi is the northeastern and northern midwestern U.S. and Canada. L. smithi infects both wild and domestic turkeys and is responsible for economic losses to the southeastern U.S. turkey growers. Leucocytozoonosis has not been demonstrated to be a disease problem in wild turkeys.

Transmission and Development

Leucocytozoon transmission begins each year with a spring relapse in previously infected birds. Birds with circulating elongate gametocytes are infective while those with circulating round gametocytes do not experience this relapse and are not infective. The circulating elongate gametocytes from the bird enter a blackfly during a blood meal. Sexual development takes place within the blackfly digestive system and sporozoites enter the salivary glands of the blackfly where they are injected into a susceptible avian host during a subsequent blood meal.

In ducks and geese, the development of L. simondi progresses through 2 asexual tissue stages, with initial hepatic schizogony developing into round gametocytes in red blood cells and later megaloschizonts found primarily in the spleen, developing into elongate gametocytes in white blood cells. The rupture of hepatic schizonts has been observed to occur around post exposure day 5 and rupture of splenic megaloschizonts occurs around day 10.

The appearance of both round and elongate gametocytes is related to the pathogenicity of the Leucocytozoon strain, with the more pathogenic forms progressing to the elongate stage. Circulating L. simondi gametocytes can be found in the bloodstream of infected birds from the time of spring relapse until early fall (April-September). In turkeys, L. smithi gametocytes persist in the bloodstream and may be found throughout the year, although in greatly reduced numbers during the winter months.

Clinical Signs and Pathology

The majority of birds affected with leucocytozoonosis exhibit no clinical signs. Those that are visibly affected show mild to severe signs of anorexia, ataxia, weakness, anemia, emaciation, and have difficulty breathing. Birds may die acutely at the time of hepatic schizont of splenic megaloschizont rupture, or chronically as a result of rupture of slower developing brain megaloschizonts. It is believed that the mortality in adult birds occurs as a result of debilitation and increased susceptibility to secondary infection.

Diagnosis

A diagnosis can be made by the demonstration of gametocytes in blood smears. Histopathological examination of the liver, spleen and brain can show developing Leucocytozoon megaloschizonts. Necropsy may reveal an enlarged spleen and liver. Since the majority of birds are subclinically infected with Leucocytozoon, other causes of death must be ruled out even with the presence of Leucocytozoon gametocytes in peripheral blood smears.

Treatment and Control

Control of the Leucocytozoon organism in domestic avian species has, until recently, been limited to control of the blackfly vector. Findings indicate that Clopidol (active ingredient in Coyden 25 coccidiostat - Dow Chemical Co., Midland, MI) may be useful in the control of leucocytozoonosis in domestic and wild waterfowl. Clopidol has been used successfully to control leucocytozoonosis in domestic turkey rearing operations in the southeastern U.S.

Significance

There is a potential for leucocytozoonosis outbreaks in waterfowl breeding grounds in the spring at Seney National Wildlife Refuge where severe losses may greatly depress population growth. Domestic duck rearing operations have been removed from parts of the northern Lower and Upper Peninsulas of Michigan due to leucocytozoonosis.

Leucocytozoonosis is of no public health significance since it is not infective to humans, and infected waterfowl are safe for human consumption.

www.michigan.gov

Klik disini untuk melanjutkan »»

Mengenal Leucositozoonosis

.

Akhirnya...sudah menginjak umur 11 hari ayam di kandang I, selasa kemarin hari terakhir pemberian sulfomonodimetoksin. Program pemberian preparat sulfa ini biasanya dilakukan 2 sesion, umur 9-11hr dan 19-21hr. Pemberian obat ini bertujuan untuk mencegah masuknya Leucositozoonosis dan malaria.
Leucositozoonosis merupakan peyakit asal protozoa pada ayam dan berbagai jenis unggas lainnya. Protozoa tersebut menyerang sel-sel darah dan jaringan veseral. Penyakit ini sering ditemukan pada daerah yang mempunyai ekologi yang cocok untuk kehidupan hospes invertebrata, meliputi lalat hitam, serangga penggigit bersayap dua, dan insekta lainnya. Kejadian Leucositozoonosis cenderung bersifat musiman yang berhubungan erat dengan peningkatan populasi vektor serangga, terutama pada pergantian musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya. lalat hitam (Simulium sp.) biasanya berkembang biak pada air yang mengalir dan mencari makan pada siang hari, sehingga penyakit tersebut banyak ditemukan pada daerah yang cocok untuk kehidupan vektor serangga tersebut. Sebaliknya, serangga penggigit bersayap dua (Culicoides sp.) berkembanga biak di dalam lumpur atau kotoran ayam dan menggigit pada malam hari.
Protozoanya tergolong genus Leucocytozoon dan famili Plasmodiidae. Dua genera lain yang termasuk famili Plasmodiidae adalah Haemoproteus dan Plasmodium. Leucocytozoon mirip dengan Plasmodium, kecuali tidak adanya skiso di dalam darah yang bersirkulasi.
Bagaimana Penularannya?
Leucositozoonosis ditularkan oleh lalat hitam dan Culicoides sp.. Kedua serangga tersebut bertindak sebagai vektor dan menginfeksi unggas sehat melalui gigitan. Leucocytozoon caulleryi yang menimbulkan Leucositozoonosis pada ayam menyebar melalui serangga penggigit bersayap dua sedangkan spesies Leucocytozoon lainnya menyebar melalui lalat hitam.
Gejala Klinisnya?
Pada letupan yang bersifat akut, proses penyakit berlangsung cepat dan mendadak, diikuti oleh anemia, demam, kelemahan umum, kehilangan nafsu makan, tidak aktif, dan lumpuh. Ayam yang terinfeksi protozoa tersebut dapat mengalami muntah, mengeluarkan feses berwarna hijau dan mati akhibat pendarahan. Infeksi dengan Leucocytozoon caulleryi dapat mengakhibatkan muntah darah dan pendarahan atau kerusakan yang parah pada ginjal. Pendarahan terjadi akhibat keluarnya merozit dari megaloskison. Kematian biasanya mulai terlihat dalam waktu 1 minggu pasca infeksi. Ayam yang terinfeksi dapat bertahan akan mengalami infeksi kronik dan selanjutnya dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan produksi.
Ayam yang terinfeksi protozoa ini akan menunjukkan adanya pendarahan dengan ukuran yang bervariasi pada kulit, jaringan subkutan, otot, dan berbagai organ, misalnya ginjal, hati, paru, usus, dan bursa fabrisius. Hati dan ginjal biasanya membengkak dan berwarna merah hitam.
Pada pemerikaaan hispatologi, dapat ditemukan adanya pendarahan dan pembentukan megaloskison pada berbagai jaringan, misalnya ginjal, hati, paru, usus, bursa fabrisius, dan otot.
Peyakit yang mirip dengan Leucocytozoon adalah gumboro dan keracunan sulfonamida. Pada kasus dilapangan, penyakit ini biasanya ditemukan bersmaa-sama dengan gumboro sebagai penyakit primer atau sebagai infeksi sekunder.
Penanggulangannya?
Tindakan pengendalian yang paling efektif adalah menekan atau mengeliminasi vektor biologik (insekta). Pengendalian larva lalat hitam dapat dlakukan dengan pemberian 2 % granul celatom. Pemberian insektisida secara spray di dalam kandang dapat menekan populasi vektor serangga, namun harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah keracunan pada ayam.
pengobatan terhadap leucocytozoon tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada kasus yang bersifat akut dapat diberikan sulfamonodimetoksin atau sulfaquinoksalin.



Klik disini untuk melanjutkan »»

Sunday, February 15, 2009

Ayamnya Kedinginan

. Sunday, February 15, 2009

Wadooh...susah banget cari kayu bakar, apa karena takut nanti dituduh biang kerusakan lingkungan n pemanasan global, makanya sudah jarang yang tebang pohon, jadinya cari kayu bakar buat pemanas ayam susah banget. Mau pake minyak tanah, harganya gak ketulungan, mau pake gas sarana blm ada. Akhirnya..malam kedelapan dilalui ayam-ayam mungil dengan "uyek-uyekan" n kedinginan. Stok kayu bakar tinggal untuk malam sabtu ni, biasanya kayu bakar dinyalakan sore, tapi kalo dengan stok sedikit dinyalakan sore nanti jam 1 pagi bara api sudah padam, makanya kayu dibakar jam 8 malem, biar pas waktunya dingin masih ada bara api.
Kondisi seperti diatas konsekuensinya sangat besar terhadap ayam yg masih berumur 7 hr, karena sistem thermoregulasinya belum stabil. Thermometer min/max menunjukkan angka min 27'C n max 34'C. Padahal temperatur ideal untuk ayam umur 7hr sekitar 30'C-32'C.
Contoh konsekuansi logis yang akan diterima dengan kondisi diatas yaitu :

  1. Feed intake tidak akan masuk,trutama pada malam hari n kondisi temperatur dibawah standar.
  2. Keseragaman yg tidak rata atau pertubuhan terhambat(hiperplasia n hiperthropia)
  3. Ayam akan diare, yang dilanjut dengan litter cepat basah
  4. Pembentukan sistem kekebalan yang tidak optimal yang akan berpengaruh terhadap kesehatan dihari berikutnya.
  5. Untuk info yg lebih komplet klik sini

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com